Saturday, January 8, 2011

nusyuz dalam islam

Secara kebahasaan, nusyuz (Ar.: an-nusyuuz; dari akar kata an-nasyz atau an-nasyaaz yang berarti ”tempat tinggi”) berarti ”sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan isteri”, atau ”perubahan sikap suami atau isteri”. Dalam pemakaiannya, arti kata an-nusyuuz ini kemudian berkembang menjadi ”al-’ishyaan” yang berarti ”durhaka”, alias tidak patuh. Kata negasinya adalah al-qunuut yang berarti ”selalu patuh”.

Ibn Manzhur (630 H/1232 M – 711 H/1311 M), ahli linguistik Arab, dalam kitabnya, Lisan al-’Arab (Ensiklopedi Bahasa Arab), mendefinisikan an-nusyuuz sebagai ”rasa kebencian salah satu pihak (suami atau isteri) terhadap pasangannya”. Sementara itu, Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fikih dan usul fikih di Universitas Damaskus, mengartikan an-nusyuuz sebagai ”ketidakpatuhan salah satu pasangan suami-isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan/atau rasa benci terhadap pa-sangannya”.
Dalam redaksi lain disebutkan, an-nusyuuz berarti ”tidak taatnya suami atau isteri kepada pasangannya secara tidak sah atau tidak cukup alasan”. Ini berarti, apabila terjadi pembangkangan dalam hal yang memang tidak wajib dipatuhi, maka sikap itu tidak dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Misalnya, isteri tidak mematuhi suami yang menyuruhnya berbuat maksiat, atau suami tidak mematuhi isteri yang menuntut sesuatu di luar kewajiban dan/atau melampaui batas kemampuannya.
Yang perlu dicatat, adalah nusyuz fenomenanya berawal dari salah satu pasangan suami-isteri (pasutri) yang merasa tidak puas, tidak senang, atau bahkan benci terhadap pasangannya. Apabila terjadi ketidaksenangan atau kebencian dari kedua belah pihak secara bersamaan, maka fenomena semacam itu tidak lagi disebut sebagai an-nusyuuz, melainkan as-syiqaaq (perselisihan, percekcokan, dan permusuhan).
Dalam prakteknya, nusyuz bisa berbentuk perkataan, perbuatan, atau kedua-duanya. Yang berbentuk perkataan, misalnya, suami suka memaki-maki dan menghina isteri, atau isteri menjawab secara tidak sopan terhadap pembicaraan suami yang lemah lembut. Yang berbentuk perbuatan, misalnya, suami mengabaikan hak isteri atas dirinya, berfoya-foya dengan perempuan lain, menganggap isterinya seolah-olah tidak ada; atau sebaliknya, isteri keluar rumah tanpa sepengetahuan suami, enggan berhubungan seks dengan suami tanpa alasan yang sah, menghambur-hamburkan biaya rumah tangga di luar batas kewajaran.
Menyikapi Nusyuz Istri
Ada empat tahap jalan keluar yang diajarkan Islam untuk mengatasi nusyuz isteri. Firman Allah, ”Dan perempuan-perempuan (para isteri) yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, dan jauhilah mereka di tempat-tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar.” (QS. An-Nisa’, 4: 34).
Tahap pertama, pemberian nasihat. Yaitu, dengan cara mengingatkan isterinya secara sopan, lemah lembut dan jelas, agar bisa menyadari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Juga dengan menasihatinya agar bertakwa kepada Allah SWT dan belajar lebih baik mengenai apa yang menjadi kewajiban isteri kepada suami.
Namun, sebelum melangkah ke tahap pemberian nasihat ini, suami tentunya harus melakukan introspeksi terlebih dahulu. Karena, bisa jadi nusyuznya isteri tersebut adalah sebagai dampak atau akibat dari kesalahan suami sendiri. Jika ini yang terjadi maka suamilah yang harus berbenah. Tapi, jika memang terbukti isteri yang bersalah, maka barulah tahap pemberian nasihat ini bisa dilaksanakan. Saat memberikan nasihat, baik juga dijelaskan kepada isteri bahwa nusyuz secara hukum bisa menggugurkan hak-hak isteri atas suaminya.
Tahap kedua, berpisah ranjang dan tidak saling tegur sapa. Ini merupakan tahap lanjutan, ketika tahap pertama tidak berhasil menyudahi nusyuz isteri. Khusus mengenai tidak bertegur sapa, batas waktu yang diperbolehkan adalah maksimal tiga hari. Nabi bersabda, ”Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya lebih dari tiga hari tiga malam.” (HR. Abu Dawud, dan an-Nasa’i)
Tahap ketiga, memukul isteri dengan pukulan yang ringan dan tidak melukai. Dalam konteks ini, syariat memberikan kriteria sebatas apa pemukulan boleh dilakukan, yaitu:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Tidak memukul bagian muka (wajah), karena muka adalah bagian tubuh yang paling terhormat.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Tidak memukul perut atau bagian tubuh lain yang yang dapat menyebabkan kematian atau kemudaratan, karena pemukulan ini tidak dimaksudkan untuk menciderai, melainkan untuk mengubah sikap nusyuz isteri.
<!--[if !supportLists]-->3. Tidak memukul di satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar timbulnya bahaya.
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Tidak memukul dengan alat yang bisa melukai. Dalam hal ini, mazhab Hanafi menganjurkan penggunaan alat berupa sepuluh lidi atau kurang dari itu, sesuai sabda Nabi, ”Tidak dibenarkan seorang dari kamu memukul dengan pemukul yang lebih dari sepuluh lidi kecuali untuk melakukan hal yang telah ditetapkan olah Allah SWT.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks ini, apabila pemukulan tenyata mengakibatkan wafatnya isteri, maka suami dikenai hukum qishash, karena ia telah mengabaikan syarat pemukulan yang mengharuskan terpeliharanya keselamatan isteri. Ini menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Hanbali, suami tidak dikenai hukum qishash, karena pemukulan tersebut dibenarkan oleh syariat, selama dilakukan sesuai kriteria yang berlaku.
Yang perlu dicatat, meski pemukulan terhadap isteri yang nusyuz boleh dilakukan sesuai kriteria di atas, namun akan lebih baik lagi jika pemukulan itu dihindari. Ini sesuai dengan Sabda Nabi, ”Dan tidak memukul adalah tindakan yang terbaik bagi kamu.” (HR. al-Bukhari)
Tahap keempat, mengutus juru damai. Tahapan ini sebetulnya merupakan salah satu langkah untuk mengatasi syiqaaq, bukan sekedar nusyuz. Syiqaaq sendiri secara umum dapat dimengerti sebagai ”perselisihan yang tajam dan mengarah pada perceraian”, yaitu kondisi ketegangan yang biasanya merupakan kelanjutan dari nusyuz yang tidak tertanggulangi.
Firman Allah, ”Kemudian jika kamu menghawatirkan perselisihan antara keduanya, hendaknya kamu mengutus hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya menginginkan berdamai, niscaya Allah akan memberi taufik di antara keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal ” (QS. an-Nisaa’, 4: 35).
Tujuan utama pengutusan hakam atau juru damai adalah untuk membuka peluang damai bagi suami-isteri yang sedang berselisih. Ini dilakukan selama jalan damai masih mungkin ditemukan dan akan berdampak kebaikan bagi keduanya. Namun, jika ternyata damai tidak mungkin tercapai, bahkan justru akan menimbulkan kemudaratan, sehingga suami-isteri yang sedang berselisih tersebut lebih baik dipisahkan, maka yang menjadi tugas hakam selanjutnya adalah mempersiapkan prosedur perceraian, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya menurut cara yang makruf (patut) dan ihsan (budi dan tindakan yang baik).
Keempat tahapan ini, menurut jumhur al-’ulama (mayoritas ulama), termasuk mazhab Hanbali, harus dilaksanakan secara berjenjang dan disesuaikan dengan tingkat atau kadar nusyuz isteri. Dimulai dari yang teringan, yakni tahap pertama, hingga yang paling berat, yakni tahap terakhir. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Nawawi, seorang ulama mazhab Syafi’i, keempat tahapan itu tidak harus dilaksanakan secara berjenjang. Artinya, suami boleh mengambil langkah dan tahapan yang mana saja yang dianggapnya paling tepat untuk mengatasi masalah nusyuznya isteri, bahkan tahap yang terberat sekalipun.
Pendapat pertama kemunculannya dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa kata sambung berupa huruf wau (yang berarti: ”dan”) dalam QS. An-Nisaa’, 4: 35 di atas, fungsinya adalah li at-tartiib (untuk menunjukkan makna berurutan atau berjenjang). Sedangkan menurut pendapat kedua, fungsi kata sambung wau tersebut adalah li muthlaq al-jam’ (sekedar menunjukkan makna ketergabungan, yang bukan berarti harus berurutan ataupun berjenjang).
Menyikapi Nusyuz Suami
Nusyuz suami dalam Alquran dan fikih Islam disebut juga dengan istilah i’raadh yang berarti ”berpaling”. Mungkin ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kebanyakan nusyuz suami dalam prakteknya sering berupa ”keberpalingan” dari isteri. Bisa jadi sebabnya adalah tindakan isteri yang kurang ”memuaskan”, atau keadaan isteri yang sudah tidak lagi memperhatikan atau menjaga penampilan dan kecantikannya.
Menghadapi nusyuz suami, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. An-Nisaa’, 4: 128-130, bagi isteri diperkenankan memilih antara dua hal, yakni:
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Bersabar dan mengikuti jalan damai dengan cara, misalnya, meminta pengertian dan mengingatkan ”kelalaian” suaminya, atau menggunakan perantara juru damai untuk menengahi dan membantu menyelesaikan masalah.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Mengajukan khulu’ (gugat cerai) ke pengadilan. Ini sudah sepatutnya dilakukan jika perceraian dinilai secara rasional dan sosial sebagai langkah terbaik untuk menyelamatkan kedua belah pihak dari kemudaratan yang sulit ditanggulangi selama ikatan perkawinan masih berlangsung.
Khulu’ secara kebahasaan berarti menanggalkan atau melepaskan. Sedangkan menurut terminologi fikih, khulu’ secara umum dapat diartikan sebagai ”pengajuan gugat cerai yang dilakukan isteri dengan kesediaannya membayar ganti rugi (iftidaa’) kepada suaminya, sehingga suaminya menjatuhkan talak”, atau ”perceraian dengan ganti rugi dari pihak isteri kepada suami”.
Terkait dengan khulu’ ini, di dalam literatur fikih terdapat pembahasan yang cukup panjang, mulai yang berkenaan dengan kontroversi seputar definisi khulu’ menurut masing-masing mazhab, kriteria tentang boleh dan tidaknya ganti rugi diambil oleh suami, hingga masalah kedudukan hukum apakah khulu’ itu termasuk kategori faskh (lepasnya hubungan suami-isteri karena ada kerusakan dalam akad) atau talak ba’in (talak akhir yang menutup peluang rujuk). Karenanya, untuk menjabarkannya dibutuhkan pembahasan sendiri secara terpisah. [***]

perkahwinan paksa dalam islam

 

 

1) Bagaimanakah status hukum yang sebenarnya menurut Islam, apabila ada seorang wanita, apakah dia gadis atau janda sama saja hukumnya tidak ada perbedaannya, yang telah dinikahkan secara paksa oleh bapaknya atau walinya,padahal dia tidak menyukai laki laki pilihan bapaknya itu, sedangkan dia
misalnya telah menyukai laki laki lain yang telah menjadi pilihannya dan dia
sangat menyukainya?


Jawapannya adalah: Wanita itu segera mendatangi Sulthan atau penguasa atau wakilnya seperti Hakim atau Qadhi, kalau di negeri kita ini mendatangi KUA(kantor urusan agama). Kemudian Hakim atau Qadhi memberikan hak mutlak kepadanya untuk menentukan dan menetapkan pilihannya sebagaimana Nabi yang mulia dan sangat kasih shallallahu'alaihi wa sallam telah memberikan hak mutlak kepada wanita yang mengalami kejadian seperti ini. Kemudian dia memilih, apakah dia akan melanjutkan pernikahannya atau tidak? Kalau jawapannya tidak, maka Hakim atau Qadhi segera membatalkan pernikahannya sebagaimana Nabi shallallahu'alaihi wa sallam telah membatalkan pernikahan Khansaa'. Karena dia telah dinikahkan oleh bapaknya dengan laki laki yang dia tidak menyukainya.Padahal dia telah menyukai dan mencintai Abu Lubabah.

Kemudian Nabi yang mulia shallallahu'alaihi wa sallam setelah membatalkan pernikahan Khansaa' beliau memerintahkan kepada orang tua Khansaa' agar mempertemukan Khansaa' (yakni menikahkannya) dengan orang yang dia cintai iaitu Abu Lubabah. Akhirnya menikahlah Khansaa' dengan Abu Lubabah dan bahagialah mereka. (Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al Masaail, Jilid 7, Darus Sunnah, hal. 184-185).

2) Pandangan Islam Terhadap Kawin Paksa

Islam memberikan kesamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan dalam memilih pendamping hidup masing-masing, dan islam tidak pernah memberikan power berupa hak maupun kewajiban kepada orang tua untuk memaksa anaknya dalam menikah, melainkan islam memberikan suatu peran bagi orang tua dalam berlakon sebagai penasehat, pemberi arahan dan petunjuk dalam masalah memilih calon pasangan anaknya dan tidak berhak orang tua memaksa anaknya baik laki-laki maupun perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak mereka ingini atau bukan pilihan mereka.

Nikah adalah keistimewaan dan masalah pribadi setiap orang, sehingga pemaksaan orang tua atau salah satu orang tua terhadap anaknya untuk nikah dengan orang yang tidak diinginkannya hukumnya adalah haram secara Syar’i, karena itu merupakan perbuatan dzalim dan melanggar hak-hak orang lain. Wanita dalam islam mempunyai kebebasan mutlak dalam menerima atau menolak orang yang datang mempersuntingnya sehingga orang tua tidak mempunyai hak apalagi kewajiban dalam memaksanya karena kehidupan berumah-tangga tidak akan berjalan mulus bahkan akan merusak pernikahan apabila pernikahan tersebut didasari oleh paksaan dan kepura-puraan.

Telah banyak dalil-dalil dan fakta-fakta yang menunjukkan pengharamannya dalam islam yang mana telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW baik secara Qawli maupun Fi’ly sebagai bantahan terhadap aturan-aturan yang ada pada zaman jahiliah berupa diskriminasi terhadap wanita dalam masalah pernikahan, sehingga Rasulullah menetapkan suatu ketetapan hukum tentang keberadaan hak seorang wanita dalam menentukan pasangan hidupnya, serta membatalkan hukum suatu perkawinan yang dilandasi oleh pemaksaan dan keterpaksaan meskipun yang memaksa dalam hal ini adalah seorang ayah. Hal ini juga menunjukkan penyalahan terhadap adat istiadat orang-orang arab pada saat itu, sebagai ujian bagi mereka dalam menerima syariat islam yang sangat memuliakan wanita dan menjunjung tinggi hak-hak wanita dalam memilih pasangannya. Sebagaimana dalam hadits-hadits di bawah ini:

a. Dalam musnad Ahmad jilid 2 hal:434 dan juga dalam Shahih Bukhari jilid 5 Hal:1974 dan dalam Shahih Muslim jilid 2 Hal:1036, Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah mengawinkan anak wanita (perawan) sehingga kamu meminta izin dan mendapat persetujuan darinya, sahabat bertanya : bagaimanakah tanda setujuanya, Rasul menjawab:”diamnya” adalah setujunya.

b. Dalam musnad Ahmad, jilid 1, Hal:117 dan Sunan Abi Daud jilid 2,Hal:232 dan Sunan Ibnu Majah jilid 1,Hal:603. Diriwayatkan bahwa seorang wanita telah datang mengadu kepada Rasulullah SAW akan perihal ayahnya yang memaksanya kawin dengan orang yang tidak diinginkannya. Maka Rasul menjawab La Nikaha Lahu”.

c. Dalam Al Kubra diriwatkan oleh Nasai bahwa seorang ayah telah memaksa anaknya untuk menikah, hal tersebut diadukan kepada Rasulullah SAW, maka Rasul menjawab La Nikaha Lahu Inkihi Ma Syi’ta, tidak sah nikahnya, kawinilah yang kamu kehendaki.

d. Dalam I’lam Al Muqiin oleh Ibnu Qayyim jilid 4, Hal:260-261. Seorang wanita telah mengadu kepada Rasulullah tentang ayahnya yang memaksanya untuk menikah dengan orang yang tidak diinginkannya. Maka Rasulullah menghampiri ayahnya dan menyuruhnya untuk meminta izin dan persetujuan dari sang anak.

Islam sangat memperhatikan masalah memilih pasang suami dan istri yang pada hakekatnya adalah memperhatikan dasar-dasar terbentuknya suatu keluarga yang sakinah, dimana dumulai dengan pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai keinginan dan untuk mewujudkannya haruslah dibutuhkan pengertian antara keduanya.